Me and daughter

Akrab bersama Silda

2nd Anniversary STUCK

Let's go to #BribikComedy

Thursday, February 5, 2009

"NDESO"


oleh : Ika S. Creech *)


Deso (baca ndeso) itulah sebutan untuk orang yang norak, kampungan,
udik, shock culture, Countrified dan sejenisnya. Ketika mengalami atau
merasakan sesuatu yang baru dan sangat mengagumkan, maka ia merasa
takjub dan sangat senang, sehingga ingin terus menikmati dan tidak ingin
lepas, kalau perlu yang lebih dari itu. Kemudian ia menganggap hanya dia
atau hanya segelintir orang yang baru merasakan dan mengalaminya. Maka
ia mulai atraktif, memamerkan dan sekaligus mengajak orang lain untuk
turut merasakan dan menikmatinya, dengan harapan orang yang diajak juga
sama terkagum-kagum sama seperti dia..



Lebih dari itu ia berharap agar orang lain juga mendukung terhadap
langkah-langkah untuk menikmatinya terus-menerus. Hal ini biasa, seperti saya juga sering mengalami hal demikian, tetapi kita terus berupaya
untuk terus belajar dari sejarah, pengalaman orang lain, serta belajar
bagaimana caranya tidak jadi orang norak, kampungan alias deso.

Semua kampus di Jepang penuh dengan sepeda, tak terkecuali dekan atau
bahkan Rektorpun ada yang naik sepeda datang ke kampus. Sementara si
Pemilik perusahaan Honda tinggal di sebuah apartemen yang sederhana.
Ketika beberapa pengusaha ingin memberi pinjaman kepada pemerintah
Indonesia mereka menjemput pejabat Indonesia di Narita. Dari Tokyo naik
kendaraan umum, sementara yang akan dijemput, pejabat Indonesia naik
mobil dinas Kedutaan yaitu mercy.

Ketika saya di Australia berkesempatan melihat sebuah acara ceremoni
dari jarak yang sangat dekat, dihadiri oleh pejabat setingkat menteri,
saya tertarik mengamati pada mobil yang mereka pakai Merk Holden baru
yang paling murah untuk ukuran Australia. Yang menarik, para pengawalnya
tidak terlihat karena tidak berbeda penampilannya dengan tamu-tamu,
kalau tidak jeli mengamati kita tidak tahu mana pengawalnya.
Di Sidney saya berkenalan dengan seorang pelayan restoran Thailand. Dia
seorang warga Negara Malaysia keturunan cina, sudah selesai S3, sekarang
lagi mengikuti program Post Doc, Dia anak serorang pengusaha yang kaya
raya.

Tidak mau menggunakan fasilitas orang tuanya malah jadi pelayan. Dia
juga sebenarnya dapat beasiswa dari perguruan tingginya.

Satu bulan saya di jepang tidak melihat orang pakai hp communicator,
mungkin kelemahan saya mengamati. Dan setelah saya baca Koran ternyata
konsumen terbesar hp communicator adalah Indonesia. Sempat berkenalan
juga dengan seorang yang berada di stasiun kereta di Jepang, ternyata
dia anak seorang pejabat tinggi Negara, juga naik kereta. Yang tak kalah
serunya saya juga jadi pengamat berbagai jenis sepatu yang di pakai
masyarakat jepang ternyata tak bermerek, wah ini yang deso siapa
yaa?

Sulit membedakan tingkat ekonomi seseorang baik di jepang atau di
Australia, baik dari penampilannya, bajunya, kendaraannya, atau
rumahnya. Kita baru bisa menebak kekayaan seseorang kalau sudah tahu
pekerjaan dan jabatanya di perusahaan. Jangan-jangan kalau orang jepang
diajak ke Pondok Indah bisa Pingsan melihat rumah segitu gede dan
mewahnya. Rata-rata rumah disana memiliki tinggi plafon yang bisa
dijambak dengan tangan hanya dengan melompat. Sehingga duduknyapun
banyak yang lesehan.

Ketika Indonesia sedang terpuruk, Hutang lagi numpuk, rakyat banyak yang
mulai ngamuk, Negara sedang kere, banyak yang antri beras, minyak tanah,
minyak goreng dll. Maka harga diri kita tidak bisa diangkat dengan
medali emas turnamen olah raga, sewa pemain asing, banyak ceremonial
yang gonta-ganti baju seragam, baju dinas, merek mobil, proyek
mercusuar, dll, dsb, dst

Bangsa ini akan naik harga dirinya kalo utang sudah lunas, kelaparan
tidak ada lagi, tidak ada pengamen dan pengemis, tidak ada lagi WTS (di
Malaysia "Wanita Tak Senonoh") , angka kriminal rendah, korupsi
berkurang, punya posisi tawar terhadap kekuatan global. Maka orang Deso
(alias norak) tidak mampu mengatasi krisis karena tidak bisa menjadikan
krisis sebagai paradigma dalam menyusun APBD dan APBN. Nah karena yang
menyusun orang-orang norak maka asumsi dan paradigma yang dipakai adalah
Negara normal atau bahkan mengikut Negara maju. Bayangkan ada daerah
yang menganggarkan Sepak Bola 17 Milyar sementara anggaran kesranya 100
juta, wiiieh!

Akhirnya penyakit norak ini menjadi wabah yang sangat mengerikan dari
atas sampai bawah :
- Orang bisa antri Raskin sambil pegang hp
- Pelajar bisa nunggak SPP sambil merokok
- Orang tua lupa siapkan SPP, karena terpakai untk beli tv dan
kulkas
- Orang bule mabuk krn kelebihan uang, Orang kampung mabuk beli minuman
patungan
- Pengemis bisa pake walkman sambil goyang kepala
- Para Pengungsi bisa berjoged dalam tendanya
- Orang beli Gelar akademis di ruko-ruko tanpa kuliah
- Ijazah S3 luar negeri bisa di beli sebuah rumah petakan gang sempit di
cibubur
- Kelihatannya orang sibuk ternyata masih sering keluar masuk Mc
Donald
- Kelihatannnya orang penting, ternyata sangat tahu detail dunia
persepakbolaan.
- Kelihatan seperti aktivis tapi habis waktu untuk mencetin hp
- 63 tahun merdeka, lomba-lombanya masih makan kerupuk saja
- Agar rakyat tidak kelaparan maka para pejabatnya dansa dansi di acara
tembang kenangan.
- Agar kampanye menang harus berani sewa bokong-bokong bahenol
ngebor
- Agar masyarakat cerdas maka sajikan lagu goyang dombret dan
wakuncar
- Agar bisa disebut terbuka maka harus bisa buka-bukaan
- Agar kelihatan inklusif mk hrs bisa menggandeng siapa saja, kl perlu
jin tomang jg digandeng

Yang lebih mengerikan lagi adalah supaya kita tidak terlihat kere, maka
harus bisa tampil keren.

Makin kiamatlah kalo si kere tidak tahu dirinya kere.


*) Penulis adalah Putra Indonesia Asli, kini bertempat tinggal di Paris,Perancis dan bekerja sebagai Pembawa Acara di salah satu stasiun di Perancis.