
Everything will be okay in the end. If it's not okay, it's not the end
Dulu saat masih menjadi juri Akademi Fantasi Indosiar, almarhum Harry Roesly pernah berkata bahwa Polisi korup itu jumlahnya ada 95%. Nah..5% selebihnya yang terkenal tidak pernah korupsi adalah Polisi tidur.
Terlepas ada yang tersinggung atau tidak dari pernyataan mister Harry Roesly itu, saya tidak hendak membicarakan topik Polisi korup. Saya lebih tertarik membahas Polisi tidur yang aktif “berjaga” 24 jam di lingkungan kita tanpa makan, tanpa minum namun selalu terinjak-injak. Mungkin sebuah gambaran di negeri ini menjadi orang bersih tanpa korupsi itu akan menjadi sasaran untuk diinjak-injak.
Di tempat saya tinggal-mungkin juga terjadi di tempat Anda tinggal, polisi tidur dibangun tiap +10 meter. Dulunya tidak. Gara-gara ada seoran anak SMA ugal-ugalan ngebut di komplek perumahan dan hampir tertabrak oleh mobil pak RT, maka Ketua RT mengambil keputusan untuk mendatangkan Polisi tidur demi keselamatan bersama. Karena kesalahan satu orang, puluhan polisi tidur didatangkan. Kedatangannya lebih cepat dari Unit Reaksi Cepat-nya POLRI.
Singkat cerita, tidak ada lagi yang ugal-ugalan di komplek perumahan.
Tapi ada efek sampingnya. Tidak ada lagi gadis-gadis yang saat malam minggunya diapeli cowok. Karena motor ceper atau pendek tidak bisa lewat. Pedagang Bakso, Mie Ayam, Wedang Ronde serta Martabak tidak ada lagi yang mau masuk komplek.
Bahkan setelah beberapa lama diberlakukannya polisi tidur banyak warga yang merasa tidak nyaman dengan keberadaannya. Dari mulai ban bocor setelah melewati polisi tidur karena motor kelebihan beban, boros bensin karena harus berkali-kali ngerem di jalan yang sama, dan alasan-alasan lain. Padahal sebagian dari mereka adalah orang yang merancang bangun ‘monumen bersejarah’ ini. Kalau yang merancang aja sewot gimana yang lainnya..?
Lalu saya ingat kata-kata Yunior saya di Ikatan Remaja Muhammadiyah yang mengatakan “Jika kita menginginkan sebuah keamanan, maka kita harus merelakan sedikit kenyamanan untuk dikorbankan”.
Betul juga ya…
Kalau menurut saya sih, Muhammad SAW pernah bersabda bahwa “menyingkirkan duri di jalanan itu sebagian dari iman”. Nah…kalau membuat rintangan di jalanan gimana dong..?
Channel 4 di Inggris setiap tahunnya menayangkan dua kali acara Big Brother ini sejak tahun 2000. Satu untuk orang biasa dan satu lagi untuk para selebritis yang kurang terkenal, alias selebritis kelas C atau kelas D. Nama acara ini diambil dari novel Inggris tahun 1984. Sebuah kisah yang menggambarkan masyarakat totaliter yang dipantau dan selalu diikuti semua gerak geriknya oleh sang pemimpin yang dipanggil Big Brother melalui layar televisi.
Kata koran begitu. Saya sendiri sih belum pernah melihat secara langsung acara ini. Katanya sih, peserta yang diusir paling akhir dari acara ini akan memenangkan uang sejumlah 70.000 pounds atau sekitar satu miliar rupiah! Plus bonus popularitas!
Saya tidak tertarik bercerita tentang acara ini secara lengkap
Saya jadi mengerutkan kening membacanya. Tidak hanya orang
Ingatan saya melambung ke masa lalu semasa kuliah. Pernah suatu ketika dosen Pancasila bercerita bahwa beliau baru saja beradu argumen dengan salah seorang dosen dari Fakultas Ekonomi tentang topik serupa. Dosen dari Fakultas Ekonomi ini lulusan Amerika Serikat yang sedikit banyak terpengaruh dengan budaya barat yang menganggap orang yang makan tanpa menggunakan sendok-garpu merupakan jenis manusia “kurang beradab”, “kuno”, dan lain sebagainya.
Dosen Pancasila lulusan Filsafat UGM ini membantah habis-habisan pendapat itu. Beliau berargumen, “Tangan saya ini hanya masuk di dua mulut saja. Pertama, mulut saya sendiri. Kedua, mulut anak saya yang masih kecil. Selain itu tidak ada!. Sementara sendok yang Anda gunakan di rumah atau di restoran sudah masuk di mulut banyak orang bahkan hingga puluhan atau ratusan orang. Itu yang Anda anggap beradab?”.
Saya pribadi menganggap pendapat dosen Pancasila itu sebagai