Thursday, January 25, 2007

GOMBALISASI


Beberapa hari yang lalu, seorang teman mengajakku bergabung dalam sebuah bisnis jaringan yang lebih kita kenal dengan istilah MLM. Dia mengajakku bergabung dalam sebuah bisnis yang dikelola oleh sebuah perusahaan asing. Dulu, aku pernah terjun dalam bisnis ini berkali-kali sebelum jaringanku remuk oleh ulah seseorang. Artinya, dia mengajakku bergabung melihat pengalamanku yang dia anggap cukup untuk bisa diajak bermitra.


Seperti biasa, agar tampak meyakinkan, dia mempresentasikan produk beserta sistemnya dengan sangat baik. Kami berdialog. Sampai suatu saat ia menangkap isi pikiranku tentang nasionalisme. Topik ini tampak sangat mengganggu dirinya mengingat bisnis yang sedang ia tawarkan tidak lahir di Indonesia dan tidak dikelola oleh orang Indonesia. Secara terang-terangan dia menggugat nasionalisme yang menurutnya, tidak relevan dikaitkan dengan sebuah bisnis. Nasionalisme adalah bagaimana kita menciptakan kecintaan kita pada bangsa tanpa harus dibatasi oleh ruang manapun. Ini jaman globalisasi. Definisi “Nasionalis” telah berubah seiring berjalannya waktu.


“Dasar mahasiswa !!” pikirku. Mereka tahunya hanya teori.


Teori kampus menjelaskan tentang globalisasi. “Tidak ada batasan ruang dan waktu untuk berbisnis. Kita bisa berbisnis di negara manapun tanpa hambatan birokrasi. Sebaliknya, negara manapun bisa masuk ke negara kita secara bebas untuk menjalankan bisnisnya tanpa birokrasi yang rumit dan melelahkan”. Sekilas tampak sangat asik dan adil. Tapi kalau dipikir lebih kritis, hal itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki dukungan finansial yang sangat kuat. Sedangkan mayoritas diantara kita adalah orang miskin. Jangankan mikir untuk membuka bisnis di luar negeri, ngurus makan sehari-hari saja susah. Akhirnya, seperti kata Amien Rais, “Kita akan menjadi kuli di negara sendiri”. Contohnya ya temanku tadi.


Cinta produk asing adalah gaya hidup kita bersama entah sejak kapan.
Nasionalisme tidak terbentuk hanya dengan mengajarkan Pancasila dan UUD’45 di sekolah-sekolah. Tidak pula dengan upacara rutin tiap hari senin. Atau dengan penataran P4 di masa lalu yang justru sering dilakukan oleh para penjarah uang rakyat.


Singapura sering mendesak pemerintah kita untuk menjual berton-ton pasir pada mereka dengan harga diskon. Untuk apa..? untuk membuat apartemen-apartemen mewah di Singapura lalu dijual pada orang-orang Indonesia dengan harga selangit dan laku keras. My God….betapa bodohnya kita !!


Penebangan liar di hutan-hutan kita dilakukan oleh anak bangsa dan ‘dilindungi’ oleh aparat serta pihak-pihak terkait. Jadi, jangan heran bila mereka tidak akan pernah tertangkap dan dihukum.
Salah satu hal yang penting untuk memupuk semangat nasionalisme kita seperti melihat tim sepak bola kita berjaya di level internasional, menuai prestasi puncak di ajang Sea Games atau Asian Games tidak pernah benar-benar serius dilakukan. Kita setiap hari ditontoni kekalahan demi kekalahan hampir di setiap ajang olah raga yang diikuti oleh olahragawan kita.


Olahraga adalah cara paling indah untuk memompa semangat nasionalisme anak bangsa karena itulah cara berkomunikasi paling efektif dengan rakyat. Namun sebaliknya, jika yang tersuguh hanya kekalahan demi kekalahan, hasilnya bisa berbeda 180 derajat. Rakyat sudah biasa melihat tim bulutangkis kita berjaya di dunia. Sekarang mereka ingin melihat lebih dari itu.


Ternyata masih banyak diantara kita yang tidak pernah benar-benar mencintai diri dan bangsa kita sendiri.

0 comments: