Tuesday, January 30, 2007
TEMAN SEJATI
Thursday, January 25, 2007
DOSEN DAN KOMENTATOR
Bagiku, asalkan halal, gak masalah. Bisnis MLM selama produknya tidak ‘berbahaya’ bagi makhluk hidup, sistemnya baik dan adil, serta perusahaannya bisa dipercaya mau saja sih bergabung.
Cuma, dalam presentasinya, temanku yang nyleneh ini punya alasan yang gak kalah nyleneh pula.
Dia ikut bergabung menjadi anggota sebuah MLM hanya karena dosen S2-nya yang terkenal kritis dan sangat teliti dalam menganalisis segala sesuatu, sudah bergabung. Dia percaya betul pada pilihan dosen itu seratus persen !!
Saya jadi ingat dalam kehidupan di dunia sepak bola.
Tidak bisa dipungkiri bahwa para komentator kita di televisi begitu luar biasa dalam menganalisis pertandingan yang sedang berlangsung seolah-olah mereka betul-betul jago meramu sebuah tim yang unggul. Komentator sepak bola di Indonesia ini tiba-tiba saja muncul di layar kaca tanpa kita ketahui apa latar belakang mereka. Dengan analisisnya yang mendalam dan (sepertinya) sangat profesional, mereka mampu meyakinkan kita bahwa cara-cara mereka pasti mujarab bila diterapkan dalam pertandingan yang sedang kita saksikan.
Tapi coba kalau mereka disuruh main bola atau menjadi pelatih sepak bola apakah sehebat mulut mereka saat berkomentar?
Jawab sendiri deh....
GOMBALISASI
Seperti biasa, agar tampak meyakinkan, dia mempresentasikan produk beserta sistemnya dengan sangat baik. Kami berdialog. Sampai suatu saat ia menangkap isi pikiranku tentang nasionalisme. Topik ini tampak sangat mengganggu dirinya mengingat bisnis yang sedang ia tawarkan tidak lahir di Indonesia dan tidak dikelola oleh orang Indonesia. Secara terang-terangan dia menggugat nasionalisme yang menurutnya, tidak relevan dikaitkan dengan sebuah bisnis. Nasionalisme adalah bagaimana kita menciptakan kecintaan kita pada bangsa tanpa harus dibatasi oleh ruang manapun. Ini jaman globalisasi. Definisi “Nasionalis” telah berubah seiring berjalannya waktu.
“Dasar mahasiswa !!” pikirku. Mereka tahunya hanya teori.
Teori kampus menjelaskan tentang globalisasi. “Tidak ada batasan ruang dan waktu untuk berbisnis. Kita bisa berbisnis di negara manapun tanpa hambatan birokrasi. Sebaliknya, negara manapun bisa masuk ke negara kita secara bebas untuk menjalankan bisnisnya tanpa birokrasi yang rumit dan melelahkan”. Sekilas tampak sangat asik dan adil. Tapi kalau dipikir lebih kritis, hal itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki dukungan finansial yang sangat kuat. Sedangkan mayoritas diantara kita adalah orang miskin. Jangankan mikir untuk membuka bisnis di luar negeri, ngurus makan sehari-hari saja susah. Akhirnya, seperti kata Amien Rais, “Kita akan menjadi kuli di negara sendiri”. Contohnya ya temanku tadi.
Cinta produk asing adalah gaya hidup kita bersama entah sejak kapan.
Nasionalisme tidak terbentuk hanya dengan mengajarkan Pancasila dan UUD’45 di sekolah-sekolah. Tidak pula dengan upacara rutin tiap hari senin. Atau dengan penataran P4 di masa lalu yang justru sering dilakukan oleh para penjarah uang rakyat.
Singapura sering mendesak pemerintah kita untuk menjual berton-ton pasir pada mereka dengan harga diskon. Untuk apa..? untuk membuat apartemen-apartemen mewah di Singapura lalu dijual pada orang-orang Indonesia dengan harga selangit dan laku keras. My God….betapa bodohnya kita !!
Penebangan liar di hutan-hutan kita dilakukan oleh anak bangsa dan ‘dilindungi’ oleh aparat serta pihak-pihak terkait. Jadi, jangan heran bila mereka tidak akan pernah tertangkap dan dihukum.
Salah satu hal yang penting untuk memupuk semangat nasionalisme kita seperti melihat tim sepak bola kita berjaya di level internasional, menuai prestasi puncak di ajang Sea Games atau Asian Games tidak pernah benar-benar serius dilakukan. Kita setiap hari ditontoni kekalahan demi kekalahan hampir di setiap ajang olah raga yang diikuti oleh olahragawan kita.
Olahraga adalah cara paling indah untuk memompa semangat nasionalisme anak bangsa karena itulah cara berkomunikasi paling efektif dengan rakyat. Namun sebaliknya, jika yang tersuguh hanya kekalahan demi kekalahan, hasilnya bisa berbeda 180 derajat. Rakyat sudah biasa melihat tim bulutangkis kita berjaya di dunia. Sekarang mereka ingin melihat lebih dari itu.
Ternyata masih banyak diantara kita yang tidak pernah benar-benar mencintai diri dan bangsa kita sendiri.
Sunday, January 21, 2007
POLISI TIDUR
Dulu saat masih menjadi juri Akademi Fantasi Indosiar, almarhum Harry Roesly pernah berkata bahwa Polisi korup itu jumlahnya ada 95%. Nah..5% selebihnya yang terkenal tidak pernah korupsi adalah Polisi tidur.
Terlepas ada yang tersinggung atau tidak dari pernyataan mister Harry Roesly itu, saya tidak hendak membicarakan topik Polisi korup. Saya lebih tertarik membahas Polisi tidur yang aktif “berjaga” 24 jam di lingkungan kita tanpa makan, tanpa minum namun selalu terinjak-injak. Mungkin sebuah gambaran di negeri ini menjadi orang bersih tanpa korupsi itu akan menjadi sasaran untuk diinjak-injak.
Di tempat saya tinggal-mungkin juga terjadi di tempat Anda tinggal, polisi tidur dibangun tiap +10 meter. Dulunya tidak. Gara-gara ada seoran anak SMA ugal-ugalan ngebut di komplek perumahan dan hampir tertabrak oleh mobil pak RT, maka Ketua RT mengambil keputusan untuk mendatangkan Polisi tidur demi keselamatan bersama. Karena kesalahan satu orang, puluhan polisi tidur didatangkan. Kedatangannya lebih cepat dari Unit Reaksi Cepat-nya POLRI.
Singkat cerita, tidak ada lagi yang ugal-ugalan di komplek perumahan.
Tapi ada efek sampingnya. Tidak ada lagi gadis-gadis yang saat malam minggunya diapeli cowok. Karena motor ceper atau pendek tidak bisa lewat. Pedagang Bakso, Mie Ayam, Wedang Ronde serta Martabak tidak ada lagi yang mau masuk komplek.
Bahkan setelah beberapa lama diberlakukannya polisi tidur banyak warga yang merasa tidak nyaman dengan keberadaannya. Dari mulai ban bocor setelah melewati polisi tidur karena motor kelebihan beban, boros bensin karena harus berkali-kali ngerem di jalan yang sama, dan alasan-alasan lain. Padahal sebagian dari mereka adalah orang yang merancang bangun ‘monumen bersejarah’ ini. Kalau yang merancang aja sewot gimana yang lainnya..?
Lalu saya ingat kata-kata Yunior saya di Ikatan Remaja Muhammadiyah yang mengatakan “Jika kita menginginkan sebuah keamanan, maka kita harus merelakan sedikit kenyamanan untuk dikorbankan”.
Betul juga ya…
Kalau menurut saya sih, Muhammad SAW pernah bersabda bahwa “menyingkirkan duri di jalanan itu sebagian dari iman”. Nah…kalau membuat rintangan di jalanan gimana dong..?
Saturday, January 20, 2007
ANTARA SENDOK DAN TANGAN
Channel 4 di Inggris setiap tahunnya menayangkan dua kali acara Big Brother ini sejak tahun 2000. Satu untuk orang biasa dan satu lagi untuk para selebritis yang kurang terkenal, alias selebritis kelas C atau kelas D. Nama acara ini diambil dari novel Inggris tahun 1984. Sebuah kisah yang menggambarkan masyarakat totaliter yang dipantau dan selalu diikuti semua gerak geriknya oleh sang pemimpin yang dipanggil Big Brother melalui layar televisi.
Kata koran begitu. Saya sendiri sih belum pernah melihat secara langsung acara ini. Katanya sih, peserta yang diusir paling akhir dari acara ini akan memenangkan uang sejumlah 70.000 pounds atau sekitar satu miliar rupiah! Plus bonus popularitas!
Saya tidak tertarik bercerita tentang acara ini secara lengkap
Saya jadi mengerutkan kening membacanya. Tidak hanya orang
Ingatan saya melambung ke masa lalu semasa kuliah. Pernah suatu ketika dosen Pancasila bercerita bahwa beliau baru saja beradu argumen dengan salah seorang dosen dari Fakultas Ekonomi tentang topik serupa. Dosen dari Fakultas Ekonomi ini lulusan Amerika Serikat yang sedikit banyak terpengaruh dengan budaya barat yang menganggap orang yang makan tanpa menggunakan sendok-garpu merupakan jenis manusia “kurang beradab”, “kuno”, dan lain sebagainya.
Dosen Pancasila lulusan Filsafat UGM ini membantah habis-habisan pendapat itu. Beliau berargumen, “Tangan saya ini hanya masuk di dua mulut saja. Pertama, mulut saya sendiri. Kedua, mulut anak saya yang masih kecil. Selain itu tidak ada!. Sementara sendok yang Anda gunakan di rumah atau di restoran sudah masuk di mulut banyak orang bahkan hingga puluhan atau ratusan orang. Itu yang Anda anggap beradab?”.
Saya pribadi menganggap pendapat dosen Pancasila itu sebagai