Me and daughter

Akrab bersama Silda

2nd Anniversary STUCK

Let's go to #BribikComedy

Thursday, September 27, 2007

BANGSAKU DITERTAWAKAN (LAGI)


Hari Selasa, tanggal 18 September 2007 lalu Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan program pengentasan budaya korupsi yang disebut "Penemuan kembali aset yang hilang" di Markas PBB di New York. Dalam kesempatan tersebut dirilis juga 10 nama pemimpin dunia yang termasuk sebagai pemimpin yang digolongkan sebagai pencuri aset Negara

"Masalah korupsi dapat menghilangkkan demokrasi dan nilai-nilai hukum. Hal ini juga membawa pada kejahatan hak-hak manusia. Selain itu dapat mengkis kepercayaan publik kepada pemerintah. Hal ini bisa juga membunuh. Dengan contoh: ketika korupsi mengizinkan sesuatu kesalahan ditutupi dengan menerima suap atau sogokan untuk memudahkan aksi-aksi teroris dimanapun," jelas pak Sekjen.

Dalam daftar yang dikeluarkan PBB Soeharto masuk sebagai satu dari sepuluh pemimpin dunia yang dikategorikan sudah mencuri kekayaan negara. Bekas penguasa Orde Baru ini diperkirakan mencuri kekayaan negara berkisar antara 15 sampai 35 miliar dolar AS.

Selain Soeharto terdapat juga sembilan pemimpin dunia yang masuk dalam kategori yang sama. Siapa saja mereka?


Ferdinand Marcos (Filipina) pada tahun 1972-1986 5-10 miliar dolar AS
Mobutu Sese Seko (Zaire) pada 1965-1997 kerugian negara 5 miliar dolar AS
Sani Abacha (Nigeria) pada 1993-1998 kerugian negara 2-5 miliar dolar AS
Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) 1989-2000 kerugian negara 1 miliar dolar AS
Jean Claude Duvailer (Haiti) 1971-1986 kerugian negara 300-800 juta dolar AS
Alberto Fujimori (Peru) 1990-2000 kerugian negara 600 juta dolar AS
Pavio Lazarenko (Ukraina) 1996-1997 kerugian negara 114-200 juta dolar AS
Arnold Aleman (Nikaragua) 1997-2002 kerugian negara 100 juta dolar AS
Joseph Estrada (Filipina) 1998-2001 kerugian negara 70-80 juta dolar AS



Coba tebak, berada di peringkat berapa mantan presiden RI itu? Yup! Ia berada di peringkat pertama. Hal ini agak mengejutkan mengingat Ferdinand Marcos yang digulingkan melalui People Power lebih terkenal sebagai orang yang kejam, otoriter dan korup. Artinya, PBB berpendapat bahwa dibalik kehalusan budi serta tutur katanya, Soeharto ternyata lebih “buas” daripada Marcos.

Bola terus bergulir kencang. Temuan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative mengenai mantan Presiden Soeharto dibahas dalam pertemuan Jaksa Se-Dunia yang dilaksanakan 20-24 November di Bali.

Bisa ditebak, Soeharto Cs langsung bersikap. Kuasa hukum mantan Presiden Soeharto, Juan Felix Tampubolon menilai data  StAR (Stolen Asset Recovery) Initiative PBB dalam menempatkan Soeharto sebagai pencuri aset teratas tidak dapat dipertanggung jawabkan karena hanya berdasarkan guntingan kliping koran dan bukan berdasarkan data yang akurat.

Menurut Wakil Ketua MPR AM Fatwa, pengumuman Stolen Asset Recovery (StAR) bahwa Soeharto merupakan pemimpin pencuri aset terbanyak, merupakan umpan indah dari PBB dan Bank Dunia untuk Presiden SBY.

Kata Mister AM Fatwa, Tinggal menunggu ketegasan Presiden soal perkembangan baru ini. Karena masalah ini diatur dalam TAP MPR No.11 tahun 1998 tentang pemberantasan KKN.

Saudara-saudara,

kita sebagai bangsa Indonesia saat ini kita sedang menjadi bahan tertawaan oleh Negara-negara lain. Bagaimana tidak? Seperti kita tahu, Pemerintah SBY-JK telah mencabut TAP MPR/11/1998 khususnya penyelidikan terhadap Soeharto awal tahun 2006 lalu. (Solidaritas Almamater kali ya..). Keluarnya SKPP atas kasus Soeharto oleh Kejaksaan Agung menjadi bukti bahwa janji kampanye SBY-JK yang akan menegakkan supremasi hukum di negeri ini telah mereka ingkari dengan seingkar-ingkarnya. Salah pilih pemimpin mungkin itulah nasib kita sekarang.

Apa yang terjadi dengan keluarnya SKPP itu?

Ngototnya aktivis reformasi untuk terus menuntut Soeharto secara hukum sekilas memang terlihat seolah melepaskan diri dari aspek kemanusiaan. Bagaimanapun (konon), Soeharto sudah memberikan jasa begitu besar terhadap bangsa ini, ditambah lagi kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan beliau untuk menjalani proses hukum. Atas dasar ini, maka sebagian pihak mencoba bersikap legowo untuk membebaskan Soeharto dari segala tuntutan hukum. Dan sikap ini pulalah yang kemudian di ambil oleh Presiden SBY beserta aparatnya.

Di sini, rasanya kita melihat makna ’kemanusiaan’ secara utuh terhadap suatu individu. Sementara, ’kemanusiaan’ dalam aspek kebangsaan tidak lagi hitam putih seperti itu, karena menyangkut ’hajat hidup orang banyak’. Melepaskan Soeharto dari proses hukum sama artinya melepaskan aspek kemanusiaan rakyat Indonesia yang merasa ’terdzalimi’ oleh penguasa orde baru tersebut selama puluhan tahun, padahal kita bermakud bersikap ’manusiawi’ terhadap Soeharto. Lalu, sisi kemanusiaan siapa yang harus kita bela ?

Pembekuan kasus Soeharto secara nyata menunjukkan posisinya yang bersebrangan dengan arus gerakan reformasi. Meskipun pemerintah sekarang ini mengaku menjalankan poin-poin lainnya (penegakkan hukum pemberantasan KKN, pencabutan dwi fungsi ABRI, dan seterusnya), akan tetapi karena Soeharto adalah sasaran utama gerakan reformasi maka pemerintahan SBY akan dinilai anti reformasi.

Dengan melihat hal tersebut, maka sangat disayangkan bahwa pemerintahan SBY yang notabene lahir dari proses panjang reformasi bangsa ini, kemudian malah ’berani’ mengambil sikap berlawanan. Resiko pengambilan keputusan untuk membekukan kasus Soeharto adalah labelisasi anti-gerakan reformasi. Lebih parah lagi ini muncul justru di tengah suasana peringatan 8 tahun gerakan reformasi di Indonesia. Maka, wajarlah jika kemudian para pendukung gerakan reformasi akan ’menghajar’ pemerintahan SBY-JK setelah Temuan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative.

Masih layakkah SBY dan JK memimpin gerbong Reformasi? Dan masih pantaskah mereka berdua maju di bursa calon Presiden mendatang?


TIKUS DAN SUSU


Ada dua ekor tikus tercebur ke dalam panci berisi krim susu. Tikus pertama langsung menyerah dan pasrah dengan apa yang akan menimpanya kelak. Tikus kedua tidak menyerah. Ia mengaduk-aduk susu krim itu tanpa kenal kata menyerah hingga krim itu berubah menjadi keju padat lalu ia bisa memanjatnya dan keluar dari panci itu dengan selamat.
(apa maksudnya ya...)

Saudara...

Jika anda ceritakan kisah diatas pada orang lain, entah istri, teman, murid atau teman-teman anda, kira-kira jawaban apa yang akan keluar dari mulut mereka. Apakah mereka menganggap cerita itu sesuatu yang mustahil? Percayalah, kebanyakan dari mereka akan mengatakan demikian.

Mereka tahu bahwa keju terbuat dari susu, tapi mereka tetap akan berkata : Mustahil.
Mereka tahu bahwa membuat keju harus diaduk-aduk, tapi mereka tetap akan berkata : Mustahil

Mereka tidak akan percaya cerita diatas hanya karena si pengaduk adalah seekor tikus.

Seperti itulah hidup Anda.

Mereka tahu anda punya otak, tapi mereka tak akan percaya anda mampu menjadi seorang ilmuwan.
Mereka tahu anda punya sepasang kaki yang kokoh, namun mereka tak akan percaya anda mampu menjadi juara lomba lari marathon.
Mereka tahu anda punya senyum yang menawan, tapi mereka tak akan percaya jika ada yang bilang bahwa anda disukai oleh banyak orang.

Mereka hanya percaya jika anda sesuai dengan apa yang mereka bayangkan.




Tuesday, September 25, 2007

"STUPID" ala Orang Indonesia


Sekali-kali ngrembug politik ah...mumpung masih menikmati bulan Ramadhan penuh berkah. Semoga kepedulian tentang masalah ini didengar oleh para elit politik beserta simpatisannya dengan hati terbuka dan ikhlas seikhlas kita menjalankan Puasa Ramadhan.

Saudara-saudara.....
Pemilu 2009 masih lama. Masa resmi kampanye juga belum dimulai. Tapi kita semua pasti tahu bahwa peristiwa itu pasti terjadi. Peristiwa kekerasan politik berupa tawuran antar pendukung partai politik yang telah mendarah daging dalam budaya politik di negeri kita. Adu fisik yang kadangkala harus mati konyol akan menjadi berita seru dua tahun lagi.

Untuk Jawa Tengah, sepertinya tidak perlu waktu selama itu karena kabarnya Pilihan Gubernur akan dilaksanakan tahun 2008. Sekarang saja spanduk-spanduk, stiker, serta baliho para calon Gubernur sudah mengawali panasnya suhu politik di Jawa Tengah.

Kalau kita amati lebih teliti, semenjak Pemilu 2004 hampir tiap tahun kita punya hajat politik baik di tingkat nasional maupun daerah. Diawali dari Pilihan legislatif, Pilihan Bupati, Pilihan kepala desa, lalu pilihan Gubernur dan balik lagi ke pilihan Legislatif begitu seterusnya. Kayak jadwal Liga Indonesia yang padat banget.

Kekerasan politik semacam ini cukup sering terjadi, terutama pada masa kampanye pemilu. Pada musim kampanye Pemilu 1999, misalnya, tidak sedikit kekerasan politik terjadi yang dilakukan oleh pendukung partai politik atas pendukung atau properti (kekayaan) partai politik lawannya. Bentuknya antara lain pembakaran dan perusakan gedung partai politik, bentrok fisik antar massa dan penghadangan terhadap ketua umum partai politik tertentu.

Bentrok antar massa partai politik adalah salah satu bentuk kekerasan politik. Kekerasan politik lainnya bisa berupa kekerasan internal partai, konflik antarpolitisi di parlemen, maupun kekerasan negara atas rakyat seperti yang dilakukan rezim otoritarian maupun ”rezim transisi”. Apa pun alasannya, kekerasan dalam politik Indonesia di era reformasi jelas telah mencederai demokrasi yang sedang dibangun di negeri ini.

Tiap menjelang masa (kampanye dan pencoblosan) pemilu di Indonesia, pertanyaan besar yang selalu muncul adalah soal kemungkinan timbulnya kekerasan politik. Kekerasan politik seolah – olah telah mentradisi di negara ini sejak bangsa ini merdeka. Sehingga tidak mengherankan bila setiap kali mendekati masa pemilu, masyarakat selalu dihantui oleh perasaan was-was akan kekerasan yang dilakukan oleh partai politik. Di lingkungan partai politik sendiri tak kalah was-wasnya. Mereka sejak dini telah menyiapkan kader-kadernya dengan pakaian mirip militer untuk berjaga-jaga bila ada tindak kekerasan atau intimidasi dari partai politik lainnya.

Masalah ''hantu kekerasan'' politik di masa pemilu bukan hanya terjadi setelah era Orde Lama. Di zaman Orba pun masalah itu muncul, terutama setelah terjadinya kekerasan politik yang dilakukan pendukung PPP pada masa kampanye pemilu tahun 1982 yang terkenal dengan insiden Lapangan Banteng. Di masa setelah Orba, soal hantu kekerasan makin menjadi ancaman ternyata karena instabilitas sosial yang begitu luas di seluruh belahan wilayah Indonesia.

Partai tertentu di beberapa kabupaten sudah melakukan provokasi dengan mencabut dan merusak atribut partai lain yang dipasang di daerahnya. Bahkan provokasi fisik yang menyerupai kekerasan juga dilakukan. Sekalipun hal itu terjadi pada skala yang sangat terbatas, tetap tidak bisa diabaikan hal itu bisa memicu kekerasan pada masa pemilu. Agaknya, kompetisi antarpartai yang begitu ketat, terutama karena adanya ketakutan di kalangan pendukung partai tertentu akan kemungkinan menurunnya perolehan suara, membuat para pendukungnya berada pada kondisi ketegangan yang tinggi, sehingga potensi kekerasan setiap saat bisa meledak.

Pengalaman traumatik kekerasan politik banyak dialami dialami masyarakat berkenaan dengan Pemilu. Di beberapa tempat seperti Jakarta pun kini mengalami hal yang sama setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan Mei 1998 benar-benar membuat masyarakat Jakarta trauma, sehingga mereka tidak lagi bereaksi terhadap provokasi yang terjadi.

Tetapi bukan berarti potensi kekerasan tidak ada lagi di Jakarta. Potensi ini muncul dari kelompok-kelompok sosial atas dasar etnis yang dibuat elite-elite politik Jakarta pada saat pemilihan gubernur beberapa waktu lalu. Salah satu organisasi berdasarkan kelompok etnis yang dulu dibuat oleh elite politik di Jakarta itu kini sudah menjelma menjadi semacam 'makhluk Frankenstein', sebuah hal yang diistilahkan oleh Pujastana. Suatu makhluk yang dibuat tetapi kemudian perilakunya tidak bisa dikendalikan oleh penciptanya. Anggota organisasi itu kini menjadi preman-preman politik yang menjadi ancaman bagi kestabilan sosial di daerah-daerah pinggiran Jakarta.

Agaknya sudah menjadi diktum, bahwa sebuah kelompok yang dibuat untuk tujuan-tujuan politik jangka pendek hanya akan menjadi makhluk Frankenstein di kemudian hari yang malah menjadi masalah bagi pembuatnya.


Pemilu 1999

Di Indonesia masalah kekerasan politik seringkali bergerak ke arah yang tak bisa diduga sama sekali. Contohnya pada Pemilu 1999. Tiga tahun sebelum Pemilu 1999 itu, terjadi kerusuhan masal di Jakarta. Ketika itu, konflik internal PDI, antara pendukung Megawati dan Suryadi, bermuara pada penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Dipenogoro, Jakarta Pusat, oleh pendukung Soeurjadi. Banyak tulisan yang menyebut bagaimana, penyerbuan pendukung Soerjadi itu, didukung oleh aparat keamanan yang mengakibatnya banyak korban nyawa melayang. Dua tahun setelah itu, kembali kerusuhan menyapu Jakarta yang meyebabkan Soeharto turun dari kekuasaan.

Bukan hanya di Jakarta terjadi kekerasan menjelang pemilu 1999. Di daerah juga terjadi hal yang sama. Di Banjarmasin contohnya. Tahun 1997 terjadi kekerasan antara pendukung Golkar dan PPP yang menurut, pengamat politik Indonesia, Donald K. Emmerson, menelan sekitar 100 nyawa. Pada tahun 1999 itu pula meletus kekerasan antar pemeluk agama di Poso dan Ambon.

Karena kenyataan itu pula, maka ketika pemilu 1999 berlangsung, kekerasan politik antara pendukung parpol dipastikan akan terjadi.

Anehnya, pemilu 1999 yang disebut pemilu paling demokratis selama 44 tahun terakhir, justru berlangsung nyaris tanpa kekerasan. Bahkan di Ambon, di mana kekerasan antara pemeluk agama mencapai puncaknya tahun 1999, masa kampanye pemilu dan hari pencoblosan berlangsung tanpa insiden.

Tidak banyak yang tahu kenapa kekerasan justru menghilang pada masa pemilu 1999 itu. tetapi Donald K Emmerson, dalam bukunya, Indonesia Beyond Soeharto, memperkirakan partai peserta pemilu berusaha menahan diri sebegitu rupa karena berharap akan memperoleh suara dan kursi di mana kekerasan politik yang muncul akan menyebabkan terganggunya harapan itu. Atau juga karena tanggung jawab nasional di kalangan masyarakat lebih kuat dari yang diduga.

Demokrasi di negara-negara yang demokrasinya belum stabil pemilu selalu menjadi hantu kekerasan bagi warganya. Masalahnya akan jadi lebih rumit apabila demokrasi yang belum stabil disertai dengan tingkat diferensiasi sosial yang tingi. Hampir seluruh negara berkembang dihadapkan pada soal ini. Sekalipun suatu negara (berkembang) telah mengalami proses transisi yang lama dari pemerintahan otoriter menuju demokrasi, tetapi kekerasan politik masih menjadi soal yang pelik.
Misalnya, Kawasan Amerika Latin, yang telah lebih dulu memasuki masa transisi menuju demokrasi di pertengahan tahun 1980-an, pemilu masih menjadi momok yang menakutkan sampai sekarang. Pemilu lalu tidak menjadi celebration of democracy sebagaimana layaknya di negara-negara yang demokrasinya stabil, melainkan lebih menyerupai agony of democracy. Di Kawasan tertentu benua Afrika hal yang sama juga terjadi.

Hal ini karena negara-negara yang demokrasinya belum stabil itu, semua lembaga negara mengalami tingkat politisasi yang tinggi. Tidak ada suatu perangkat demokrasi yang established sehingga perebutan posisi dalam lembaga-lembaga negara tidak menjadi suatu kompetisi yang fair dan bisa dianggap wajar. Karena soal politisasi ini belum bisa diatasi di banyak negara berkembang, maka jarang sekali masa depan demokrasi di kawasan itu dilihat dengan optimis. Selalu terdapat kemungkinan besar sistem demokrasi akan berumur singkat dan otoritarianisme kembali merajalela.

Akan halnya Indonesia, banyak pengamat politik melihat bahwa sangat kecil kemungkinan bahwa Indonesia akan mundur dari sistem demokrasi untuk kembali ke sistem otoriter. Tetapi jika kemungkinan kekerasan politik dan persaingan kepentingan tidak bisa dikelola dengan baik, maka selalu terbuka jalan bagi Indonesia untuk kembali sistem otoriter.


Akar Kekerasan Politik Di Indonesia

Orde Baru (1966 – 1998) tidak hanya melakukan pendekatan pragmatis di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik. Paling tidak ada tiga hal yang dilakukan Orde Baru dalam kaitan dengan pragmatisme politik demi menunjang pembangunan ekonomi.

Pertama, terjadi penyederhanaan dan pembatasan partai politik dengan segala konsekuensinya, umumnya dalam kehidupan demokrasi dan secara khusus dalam kaitan dengan pendidikan politik. Dengan cara ini kebebasan berpartai, berorganisasi dan kesempatan melakukan pendidikan politik dalam kerja organisasi politik riil menjadi dibatasi dan dikebiri. Bahkan, lebih dari itu, seluruh semangat demokrasi dimatikan karena tidak ada perbedaan pandangan, saling kontrol antar partai, tidak ada pengajuan calon pemimpin tandingan dan seterusnya, sebagaimana kita alami semua pada waktu itu. Itu dilakukan demi pragmatisme ekonomi agar tujuan pembangunan ekonomi bisa dicapai tanpa gangguan stabilitas politik oleh mekanisme demokrasi politik formal.

Kedua, dalam alur yang sama kecuali Golkar, parpol yang lainnya tidak dimungkinkan untuk melakukan apa yang idealnya dikerjakan sebuah partai yang sehat, yaitu pendidikan politik bagi para kadernya untuk menyiapkan dan mencekal calon pemimpin partai dan pemimpin bangsa. Jangankan kaderisasi, rapat partai-partai saja dikejar-kejar, diawasi dan diintimidasi aparat negara. Apa yang bisa dilakukan untuk pendidikan politik kader partai dalam kondisi seperti itu?

Jadi, kalau politisi yang dihasilkan parpol sekarang adalah seperti ini, harus kita akui bahwa itulah buah dari proses kehidupan politik tanpa pendidikan politik dalam parpol. Tidak ada pemimpin hebat yang bisa dihasilkan parpol karena tidak ada pendidikan politik, baik itu formal dalam bentuk kaderisasi maupun dalam bentuk berorganisasi secara wajar. Padahal, berorganisasi secara wajar termasuk belajar menyelesaikan konflik diantara kader, adalah pendidikan politik paling riil. Tetapi, itu tidak ada karena yang ada adalah belajar menghindari dan berkelahi dengan aparat, yang berarti belajar menggunakan otot dan kekerasan.

Ketiga, secara lebih luas juga harus kita akui hampir tidak ada kebebasan berorganisasi secara sehat dan wajar, tempat tokoh-tokoh muda, calon pemimpin bangsa bisa melakukan penggemblengan dan pendidikan dirinya sebagai politisi dan pemimpin bangsa. Berbagai aktivitas berorganisasi dihalangi atau harus melalui prosedur perizinan yang berlaku, kecuali harus dilakukan secara underground, . Dan, kalau tertangkap, segala idealisme murni mereka demi kemajuan bangsa diberangus dan dimatikan dengan segala intimidasi dan tindak kekerasan bahkan dengan restu negara.

Pemilu 2009 dan seterusnya kita berharap peristiwa kekerasan pada waktu kampanye tidak lagi terjadi. Ini akan melahirkan pembodohan politik (political ignorance), yang entah jilid keberapa lagi, ditengah-tengah bangsa ini membutuhkan pendidikan politik yang sehat dan dinamis pada masyarakat. Pemilu hendaknya menjadi titik awal partai-partai untuk lebih dapat memberikan pendidikan politik yang sehat bagi masyarakat. Bukan memberikan celah-celah untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama demokrasi. Bila pendidikan politik yang sehat itu terlaksana dengan baik, banyak keuntungan yang bisa kita petik.

Kita tinggal lihat pesta politik masa mendatang apakah rakyat masih saja Bodoh atau sudah lebih cerdas dalam berpolitik.

Kalau kekerasan itu masih saja terjadi, maka tidak mengherankan bila Pemilu mendatang akan lahir manusia-manusia apatis yang enggan menggunakan hak pilihnya di bilik suara. Bagaimana menurut Anda? Jangan2 anda sudah ancang2 mau Golput juga


HILAL DALAM PENANGGALAN HIJRIYAH

Wapres Jusuf Kalla bersama Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Mensos Bachtiar Chamsyah, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni, bertemu membahas masalah penyamaan waktu Idul Fitri, kemarin. Bukan pertemuan politik tapi murni mbahas persoalan umat Islam khususnya penetapan 1 Syawal tahun ini.

Bagi yang gak tahu, kayaknya kok ruwet ya menetukan tanggal di bulan Hijriyah?Yah, seperti itulah proses belajar manusia. Kalau tidak ada masalah ya nggak belajar gitu kan..? Jangan susah hati lah...

Tapi prinsipnya begini,

Saat ini beragam kriteria visibilitas dikeluarkan oleh astronom, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa penampakan sabit bulan pertama atau hilal bukan permasalahan umat Islam semata. Astronom non Islam pun sedang mencari-cari bagaimana sejatinya penentuan kalender dengan sistim ini. Hehe..mungkin inilah tantangan Allah pada seluruh umat manusia agar gak sombong, takabur and merasa pinter sendiri.

Hilal mempunyai posisi penting dalam sistem penanggalan Hijriah yang didasarkan pada siklus penampakan Bulan. Sayangnya, kajian tentang hilal di Indonesia dalam banyak aspek sangat minim sehingga tidak heran jika perbedaan dalam menetapkan awal bulan Hijriah masih dan akan terus terjadi karena hilal merupakan penentu awal bulan.
Sistem penanggalan Hijriah didasarkan pada siklus penampakan Bulan yang lamanya 29,53 hari, di mana awal bulan ditandai dengan penampakan sabit bulan (hilal) di ufuk barat ketika Matahari tenggelam. Penggunaan hilal sebagai penanda awal bulan dalam penanggalan Hijriah didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam astronomi, sistem penanggalan Hijriah digolongkan dalam sistem penanggalan bulan (lunar calendar).

Jauh sebelum menggunakan kalender bulan, bangsa Arab kuno sebenarnya telah menggunakan sistem penanggalan yang didasarkan pada siklus penampakan Bulan dan pergerakan Matahari. Dalam sistem penanggalan tersebut, perhitungan bulan (month) didasarkan pada siklus penampakan Bulan (moon) dan perhitungan tahun (year) didasarkan pada siklus pergerakan Matahari.

Dari pengamatan diketahui bahwa 12 lunasi Bulan tidak sama dengan satu siklus pergerakan Matahari. Hal ini membuat perbedaan jumlah hari setiap tahunnya. Secara astronomi, sistem penanggalan yang didasarkan pada siklus penampakan Bulan dan pergerakan Matahari disebut sistem penanggalan bulan-matahari (luni-solar calender).

Ramadhan

Dalam sistem penanggalan luni-solar bulan Ramadhan, bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriah selalu berada pada musim panas, kemungkinan sekitar bulan Juni dalam penanggalan Masehi sekarang. Hal ini bisa diketahui dari kata Ramadhan yang berarti sangat panas/terik.

Ketidakkonsistenan masyarakat, terutama penguasa Arab, dalam menerapkan aturan penanggalannya menjadikan sistem penanggalan menjadi kacau. Maka, dalam Al Quran (09:36-37) Nabi Muhammad SAW melarang penggunaan kalender luni-solar dan menggantikannya dengan sistem penanggalan yang didasarkan pada penampakan Bulan semata.

Perubahan sistem penanggalan tersebut berdampak pada perhitungan lamanya tahun semata. Adapun perhitungan bulan (month) yang didasarkan pada siklus penampakan Bulan tidak mengalami perubahan. Hal inilah yang menyebabkan bulan Ramadhan tidak lagi selalu berada pada musim panas.

Kriteria awal bulan yang digunakan oleh masyarakat Arab juga tidak mengalami perubahan. Rasulullah SAW melalui sabdanya menetapkan kriteria awal bulan yang sudah berlaku dan akrab dalam masyarakat tersebut sebagai kriteria baku dalam sistem penanggalan yang baru (baca: penanggalan Hijriah).

Kriteria tersebut adalah penampakan hilal. Jikalau hilal telah tampak, berarti telah masuk bulan baru (new month) dan jika belum tampak maka bulan berjalan digenapkan menjadi 30 hari.

Hilal sebagai penentu

Bagi masyarakat Arab yang telah turun-temurun menggunakan luni-solar calendar, istilah hilal bukan sesuatu yang baru sehingga terminologi hilal dalam masyarakat Arab bisa dikatakan seragam. Seperti umumnya terminologi purnama ataupun bulan separuh dalam masyarakat sekarang. Oleh karena itu, Rasulullah menerima kesaksian seorang Arab Badui yang mungkin buta huruf dan kesaksian seorang kafilah yang melihat hilal dalam perjalanannya menuju Madinah dengan tanpa banyak pertanyaan tentang penampakan hilal.

Dari sini dapat dipahami hakikat hadis Nabi yang menyatakan bahwa "Kami adalah umat yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), satu bulan itu terdiri atas 29 hari atau 30 hari". Meskipun masyarakat Arab ketika itu banyak yang ummi, pengetahuan mereka terhadap siklus penampakan Bulan dan pemanfaatannya sebagai kalender sudah merata. Hal ini karena kalender yang digunakan dalam kehidupan sehari-harinya didasarkan pada siklus penampakan Bulan.

Jika seorang Arab Badui yang mungkin ummi dan seorang pedagang yang sedang dalam perjalanan dapat melihat hilal tentunya-dalam bahasa astronomi-posisi hilal sudah cukup tinggi sehingga mudah dikenali meskipun tanpa mengetahui posisi hilal terlebih dahulu.

Secara astronomi, sabit hilal dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa bantuan perhitungan (hisab) jika ketinggiannya lebih besar dari 12 derajat. Oleh karena itu, kriteria visibilitas hilal astronom dahulu mempunyai ketinggian hilal $>= 12 derajat.
Tabel 1 menunjukkan sebagian kriteria visibilitas hilal yang digunakan oleh masyarakat/astronom dahulu, seperti Al-Khwarizmi yang diketahui sebagai astronom Muslim pertama yang mempunyai kriteria visibilitas dan Ibn Yunus, seorang astronom terkenal pada akhir abad X di Fustat. Beberapa astronom Muslim lainnya, seperti Maslama ibn Ahmad al-Majriti yang merevisi tabelnya al-Khwarizmi, Ibn Ishaq al-Tunisi yang bekerja di Tunisia pada awal abad ke-13, juga mempunyai kriteria yang tidak jauh berbeda.

Hisab dan hilal

Visibilitas (rukyat) hilal merupakan sebagian permasalahan yang mendapat perhatian serius dari astronom Muslim abad pertengahan. Hal ini disebabkan kalender yang digunakan sehari-hari didasarkan pada Bulan dan awal bulan ditandai dengan penampakan hilal. Beragam kriteria visibilitas dihasilkan ketika itu.

Kemajuan ilmu astronomi dan pengetahuan astronom terhadap pergerakan dan posisi Bulan menjadikan kriteria posisi hilal untuk dapat dilihat semakin kecil. Terlebih dengan diketemukannya alat bantu observasi, seperti teleskop, membuat kriteria posisi hilal menjadi lebih kecil lagi.

Fotheringham (1910), Bruin (1977), Yallop (1997), Ilyas (1990-an), Schaefer (1988), The Royal Greenwich Observatory (RGO), dan South African Astronomical Observatory (SAAO) mengeluarkan kriteria visibilitas hilal dengan S $< 12 deg. Kriteria Danjon bahkan mensyaratkan elongasi Bulan-Matahari sebesar 7 derajat pada saat Matahari tenggelam.

Jika Rasulullah SAW mengawali dan mengakhiri puasanya didasarkan pada rukyat (visibilitas) hilal yang mudah dilihat dan dikenali oleh orang yang ummi, tentunya seperti itulah umat Islam ingin melaksanakannya. "Bukankah Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (2:185)."


Wednesday, September 19, 2007

AWAS!! Hati2 Beli Daging Untuk Lebaran.


Menjelang Lebaran, kita harus hati-hati memilih daging kalengan di pasar atau supermarket. Kemarin, Tanggal 18 September 2007 Dinas Peternakan Jawa Timur menyatakan ada 24 jenis produk kalengan berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Produk daging olahan tersebut berasal dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku, sapi gila serta bovine virus diarrhea. Negara-negara itu antara lain : Malaysia, Filipina, Cina, Kanada dan masih ada negara lainnya. Semuanya produk import. (nah loh...kata siapa produk import pasti bagus ! Pakai daging lokal saja. Sedikit alot, tapi Halalan Toyyiban.)

Anehnya, produk-produk tersebut telah mendapatkan registrasi dari BPOM. (Gawat..gawat..)

Dan Lucunya

, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Surabaya menolak bertanggungjawab atas lolosnya 24 merek daging kemasan impor dari negara yang belum bebas penyakit mulut, kuku, sapi gila dan virus bovine diarrhea.

Piye to iki? Masak urusan besar begini tidak ada penanggung jawabnya? Apa pada nggak kompeten yak kok bisa-bisanya kejadian seperti ini berlangsung berulang-ulang?
kata Kepala BPOM Surabaya Sudiyatmo di kantornya Jalan Karangmenjangan Surabaya, "Kalau BPOM hanya mengurusi soal kandungan bahan kimia yang berbahaya seperti formalin atau merkuri dalam kosmetik dan sebagainya. Sedangkan, kewenangan untuk mengurusi bahan makanan dari negara yang bebas dari sapi gila atau penyakit kuku dan mulut merupakan kewenangan Dinas Peternakan,"

Namun, Sudiyatmo buru-buru menyatakan akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan BPOM Pusat dalam memberikan keterangan mengenai masalah ini.

Sekedar informasi saja, baru-baru ini Kepala BPOM-nya Cina diganjar hukuman mati gara-gara kelalaian dalam meloloskan produk. Perlu tidak ya cara ini diterapkan di Indonesia biar pejabatnya tidak main-main saat ngurusi rakyat. Huh !!

Sayang sekali, Ramadhan yang mulia dicemari oleh hal-hal semacam ini.





Sunday, September 16, 2007

Malaysia : Jiran Tapi Seteru

Tahun 60-an siapa yang mengenal Malaysia sebagai Negara yang pantas disegani? Sedangkan tenaga guru berkualitas saja mereka minta bantuan dari Indonesia. Tapi itu dulu bung, dua puluh tahun kemudian, kitalah yang mati-matian minta bea siswa agar bisa sekolah di Negara tersebut. Kualitas pendidikan mereka sekarang jauh lebih baik dari pada kebanyakan sekolah / perguruan tinggi di Indonesia.

Dulu, Pertamina dengan gagahnya menerima insinyur-insinyur magang dari Petronas serta calon-calon ahli perminyakan di negeri jiran itu. Tapi sekarang? Pertamina nggak ada apa-apanya bila dibandingkan Petronas-nya Malaysia.

Cepat sekali mereka berkembang mendahului kita namun cepat pula mereka bersikap pongah dan sombong.

Tenaga kerja Indonesia yang umumnya berkualitas rendah hanyalah bahan bulan-bulanan bagi mereka. Penerapan standar ganda dalam perekrutan tenaga kerja memang sangat santer diberitakan seiring santernya bantahan dari pemerintah Malaysia tentang standar ganda tersebut. Di satu sisi, undang-undang mereka menegaskan keberpihakan pada tenaga kerja legal atau resmi namun dalam praktek, tenaga kerja illegal ternyata lebih mudah mendapatkan akses masuk ke Negara itu. Karena mempekerjakan tenaga illegal berarti mengirit biaya dan bisa memperlakukan mereka dengan seenaknya dari tidak dibayarnya gaji tenaga kerja, diperkosa oleh majikan, hingga dibunuh bila memang diperlukan. Toh akhirnya kasusnya juga akan menguap begitu saja. Belakangan, tenaga kerja resmi pun tak terlindungi oleh hukum di Negara yang serumpun dengan Indonesia itu. Banyak kasus-kasus yang seolah hilang ditelan bumi bila menempatkan orang Indonesia sebagai korbannya.

Tidak hanya urusan tenaga kerja saja mereka berani kurang ajar pada kita, untuk urusan kedaulatan Negara-pun mereka sudah berani usik-usik.

Di era Presiden Megawati Soekarno Putri, kita tentu ingat kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang tiba-tiba jatuh ke tangan Malaysia setelah melewati Mahkamah Internasional. Kita betul-betul kecolongan dan merasa dipecundangi saat itu. (Anehnya, Megawati kok berani mencalonkan diri sebagai calon presiden lagi di tahun 2009 ya..? apa tidak malu tuh..)

Keberhasilan merebut pulau Sipadan menyulut Malaysia menjadi semakin percaya diri dengan mencoba meraih pulau Ambalat dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Gila nggak tuh…?!). Untunglah upaya itu sampai saat ini tidak berhasil terlaksana. Sedetik saja kita lengah, satu lagi pulau kita akan hilang dari pangkuan bumi pertiwi.

Hanya segitukah tingkah gila Malaysia pada kita? Jawabannya : Tidak !!

Belakangan, wasit karate Indonesia (yang notabene mewakili Negara dalam event resmi) dihajar habis-habisan oleh beberapa orang polisi Malaysia tanpa alasan jelas. Sudah begitu, mereka menolak minta maaf atas perlakuan tidak menyenangkan tersebut yang akhirnya menyulut amarah semua warga Negara Indonesia di tanah air. Kalaupun akhirnya, permohonan maaf itu jadi disampaikan, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kita saat ini diremehkan dan dianggap tidak memiliki wibawa apapun di mata dunia internasional.

Saudara-saudara…

Asal tahu saja, tanpa kita sadari, orang-orang Malaysia telah membajak batik-batik tradisional kita untuk dijual di Negara lain. Mereka mengklaim bahwa itu adalah batik Malaysia bukan batik dari Indonesia. Nah loh…!!

Kata seorang teman, minat orang-orang eropa dan afrika terhadap batik Malaysia (baca : bajakan dari Indonesia) ternyata cukup tinggi. Apa iya? Gitu pikir saya. Lalu saya coba iseng-iseng menggunakan software Goodkeywords untuk melihat popularitas batik Malaysia di internet dan ternyata, Batik Malaysia itu menempati posisi pertama dalam pencarian dengan kata kunci Batik. Gilaaaa nggaaaaak tuuuuh…?! Haloo…itu batik Indonesia bro…bukan batik Malaysia.

Udah cukup segitu? Belum! Masih ada lagi.

Angklung sebagai alat musik tradisional dari Indonesia diklaim sebagai alat musik asli dari Malaysia. Saya mendengarnya dari Liputan 6 SCTV siang tadi di TV tentunya. Apakah hal ini mau dibiarkan gitu aja..?

Sobat, dulu saya menganggap slogan GANYANG MALAYSIA dari Presidan Soekarno adalah sesuatu yang berlebihan dan keterlaluan. Tapi sekarang, sudah saatnya kita berkata TIDAK ! pada Malaysia demi menjaga integritas bangsa Indonesia tercinta.



Friday, September 7, 2007

Refleksi Menjelang Ramadhan

Dengan uang kita dapat membeli Jam Rolex tapi tidak dapat membeli waktu. Kita bisa mati kapan saja tanpa sempat menyelamatkan uang kita.

Dengan uang kita dapat membeli tempat tidur tapi tidak dapat membeli rasa mengantuk. Saat banyak orang mengalami susah tidur, sebagian lainnya justru memanfaatkan bulan ramadhan dengan tidur seharian dengan alasan beribadah. Untuk itukah alasan kita berpuasa agar kita bisa bermalas-malasan?

Dengan uang kita dapat membeli buku tapi tidak dapat membeli ilmu. Jangan bangga dengan ratusan buku di perpustakaan pribadi anda karena tugas dan tanggung jawab amat besar terhadap umat telah menanti anda.

Dengan uang kita dapat menjadi dokter tapi tidak dapat membeli kesehatan jasmani dan rohani. Mari kita manfaatkan bulan ramadhan ini untuk menyehatkan jasmani dan rohani kita dengan sebaik-baiknya.

Dengan uang kita dapat membeli jabatan tapi tidak dapat membeli keinginan kita untuk dihargai. Tak peduli apa jabatan anda, anda tetap harus menghargai mereka yang berpuasa agar anda dihargai oleh orang lain.



Dengan uang kita dapat membeli darah tapi tidak dapat membeli kehidupan. Jangan bermimpi menjadi penghisap darah (makan harta) orang lain kalau kita tidak ingin menjadi bagian dari sejarah suram kehidupan manusia.

Dengan uang kita dapat membeli sex tapi tidak dapat membeli cinta. Tak ada yang lebih mencintai kita selain Allah SWT dan Rasul-Nya.

Banyak hal yang tidak bisa kita beli dengan uang.

Mumpung masih sempat, beramal shalehlah. Bayarlah zakat anda sesuai syariat. Tunaikanlah ibadah haji ke baitullah, Santunilah fakir miskin dan anak terlantar, Manfaatkanlah harta anda untuk mencapai derajat takwa.

Siapkan diri untuk menyambut Ramadhan tahun ini dengan sebaik-baiknya karena tahun depan mungkin kita tak akan bertemu lagi dengan Ramadhan bulan penuh berkah dan ampunan.

Inga’ inga’ (thing !)

Allah tidak pernah rugi secuilpun walaupun seluruh isi bumi ini ingkar pada-Nya.

Tuesday, September 4, 2007

ATAS BIAYA DINAS

Kata para pakar perilaku konsumen, umumnya saat kita mendapatkan pelayanan yang memuaskan dari seseorang atau dari sebuah institusi, kita cenderung untuk diam saja sambil sesekali menceritakan pengalaman kita pada orang lain. Tapi perilaku yang ama tidak berlaku bila suatu ketika kita mendapatkan pelayanan yang buruk dan mengecewakan. Tak perlu waktu lama untuk menceritakan keburukan itu pada semua orang yang kita kenal bahkan yang tidak kenal pun kebagian ceritanya. Tidak adil? Iya memang itulah perilaku sehari-hari kita sebagai manusia biasa.

Lalu muncul sebuah pertanyaan :

Kapan terakhir kali Anda menceritakan kejujuran atau kebaikan seseorang kepada orang lain? Pertanyaan ini bisa jadi susah untuk dijawab atau sebaliknya tergantung dari kebiasaan Anda sendiri.

Surabaya adalah tempat yang sangat jauh dari Klaten tempat tinggal saya. Tapi ada cerita menarik dari sana tentang kejujuran Surabaya Plaza Hotel dalam menegakkan nilai-nilai etis yang pantas untuk ditiru pengelola hotel lainnya.

Hehehe... bukan bermaksud promosi sih, lha wong saya juga tidak bekerja disana dan tidak punya teman atau keluarga yang bekerja disana. Menginap disana juga belum pernah. Hanya tertarik untuk menjawab pertanyaan diatas tadi.
Mari kita simak

Surabaya Plaza Hotel menerapkan aturan yang langka di jaman sekarang. Mereka menuliskan di wilayah reception sebuah surat pemberitahuan yang kira-kira berbunyi :Hotel kami tidak bersedia menerbitkan kuitansi yang tidak sesuai dengan fakta konsumsi jasa yang benar-benar digunakan oleh tamu hotel.

Asal tahu aja, praktik gross-up kuitansi dan penerbitan kuitansi palsu oleh banyak hotel adalah hal yang biasa dilakukan. Peminat kuitansi semacam itu adalah para tamu hotel bermotif bisnis yang menginap dengan fasilitas Biaya Dinas. Sehingga, pihak pemberi tugas harus membayar lebih mahal, sedangkan biaya dinas untuk akomodasi dan konsumsi bisa dijadikan tambahan penghasilan. Ada juga motif lain seperti misalnya, tugas kerja 4 hari, menginap di hotel hanya 1 malam lalu minta kuitansi palsu agar ditulis menginap selama 4 hari. Selebihnya ia bermalam di rumah saudaranya di kota tersebut.

Pada minggu-minggu pertama kejujuran pihak Surabaya Plaza Hotel itu mendapat cibiran. Beberapa tamu batal check in atau mempersingkat kunjungan masa tinggalnya. Namun setelah beberapa bulan, mulai terlihat kenaikan occupancy rate secara konsisten dan signifikan. Ternyata, ini adalah kebijakan para employer yang biasa mengirimkan para karyawannya sebagai tamu di hotel tersebut. Para pemilik usaha mulai tegas memerintahkan karyawannya agar menginap di hotel tersebut bila sedang menjalankan tugas di kota Surabaya karena pertimbangan adanya jaminan kebenaran tagihan dan pengendalian biaya.

Wow...keren.

Kita, para orang-orang jujur pantas mendukung langkah yang diterapkan oleh Surabaya Plaza Hotel agar tetap konsisten di jalur yang etis dalam berbisnis. Faktanya, hal itu tidak membuat mereka menjadi hancur tapi justru mendapat acungan jempol dan kepercayaan dari banyak orang.

Jika Surabaya Plaza Hotel menjadi semakin populer karena postingan saya ini, anggap saja itu adalah buah dari sebuah kejujuran mereka sendiri.

Sekarang ini mulai banyak para pemilik usaha yang coba-coba menguji kejujuran pihak hotel. Mereka menginap sebentar lalu minta kuitansi palsu. Kalau berani ngasih kuitansi palsu, jangan harap dia akan kembali ke hotel itu.

Dan...

Kapan terakhir kali Anda menceritakan kejujuran atau kebaikan seseorang kepada orang lain?