Thursday, September 27, 2007

BANGSAKU DITERTAWAKAN (LAGI)


Hari Selasa, tanggal 18 September 2007 lalu Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan program pengentasan budaya korupsi yang disebut "Penemuan kembali aset yang hilang" di Markas PBB di New York. Dalam kesempatan tersebut dirilis juga 10 nama pemimpin dunia yang termasuk sebagai pemimpin yang digolongkan sebagai pencuri aset Negara

"Masalah korupsi dapat menghilangkkan demokrasi dan nilai-nilai hukum. Hal ini juga membawa pada kejahatan hak-hak manusia. Selain itu dapat mengkis kepercayaan publik kepada pemerintah. Hal ini bisa juga membunuh. Dengan contoh: ketika korupsi mengizinkan sesuatu kesalahan ditutupi dengan menerima suap atau sogokan untuk memudahkan aksi-aksi teroris dimanapun," jelas pak Sekjen.

Dalam daftar yang dikeluarkan PBB Soeharto masuk sebagai satu dari sepuluh pemimpin dunia yang dikategorikan sudah mencuri kekayaan negara. Bekas penguasa Orde Baru ini diperkirakan mencuri kekayaan negara berkisar antara 15 sampai 35 miliar dolar AS.

Selain Soeharto terdapat juga sembilan pemimpin dunia yang masuk dalam kategori yang sama. Siapa saja mereka?


Ferdinand Marcos (Filipina) pada tahun 1972-1986 5-10 miliar dolar AS
Mobutu Sese Seko (Zaire) pada 1965-1997 kerugian negara 5 miliar dolar AS
Sani Abacha (Nigeria) pada 1993-1998 kerugian negara 2-5 miliar dolar AS
Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) 1989-2000 kerugian negara 1 miliar dolar AS
Jean Claude Duvailer (Haiti) 1971-1986 kerugian negara 300-800 juta dolar AS
Alberto Fujimori (Peru) 1990-2000 kerugian negara 600 juta dolar AS
Pavio Lazarenko (Ukraina) 1996-1997 kerugian negara 114-200 juta dolar AS
Arnold Aleman (Nikaragua) 1997-2002 kerugian negara 100 juta dolar AS
Joseph Estrada (Filipina) 1998-2001 kerugian negara 70-80 juta dolar AS



Coba tebak, berada di peringkat berapa mantan presiden RI itu? Yup! Ia berada di peringkat pertama. Hal ini agak mengejutkan mengingat Ferdinand Marcos yang digulingkan melalui People Power lebih terkenal sebagai orang yang kejam, otoriter dan korup. Artinya, PBB berpendapat bahwa dibalik kehalusan budi serta tutur katanya, Soeharto ternyata lebih “buas” daripada Marcos.

Bola terus bergulir kencang. Temuan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative mengenai mantan Presiden Soeharto dibahas dalam pertemuan Jaksa Se-Dunia yang dilaksanakan 20-24 November di Bali.

Bisa ditebak, Soeharto Cs langsung bersikap. Kuasa hukum mantan Presiden Soeharto, Juan Felix Tampubolon menilai data  StAR (Stolen Asset Recovery) Initiative PBB dalam menempatkan Soeharto sebagai pencuri aset teratas tidak dapat dipertanggung jawabkan karena hanya berdasarkan guntingan kliping koran dan bukan berdasarkan data yang akurat.

Menurut Wakil Ketua MPR AM Fatwa, pengumuman Stolen Asset Recovery (StAR) bahwa Soeharto merupakan pemimpin pencuri aset terbanyak, merupakan umpan indah dari PBB dan Bank Dunia untuk Presiden SBY.

Kata Mister AM Fatwa, Tinggal menunggu ketegasan Presiden soal perkembangan baru ini. Karena masalah ini diatur dalam TAP MPR No.11 tahun 1998 tentang pemberantasan KKN.

Saudara-saudara,

kita sebagai bangsa Indonesia saat ini kita sedang menjadi bahan tertawaan oleh Negara-negara lain. Bagaimana tidak? Seperti kita tahu, Pemerintah SBY-JK telah mencabut TAP MPR/11/1998 khususnya penyelidikan terhadap Soeharto awal tahun 2006 lalu. (Solidaritas Almamater kali ya..). Keluarnya SKPP atas kasus Soeharto oleh Kejaksaan Agung menjadi bukti bahwa janji kampanye SBY-JK yang akan menegakkan supremasi hukum di negeri ini telah mereka ingkari dengan seingkar-ingkarnya. Salah pilih pemimpin mungkin itulah nasib kita sekarang.

Apa yang terjadi dengan keluarnya SKPP itu?

Ngototnya aktivis reformasi untuk terus menuntut Soeharto secara hukum sekilas memang terlihat seolah melepaskan diri dari aspek kemanusiaan. Bagaimanapun (konon), Soeharto sudah memberikan jasa begitu besar terhadap bangsa ini, ditambah lagi kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan beliau untuk menjalani proses hukum. Atas dasar ini, maka sebagian pihak mencoba bersikap legowo untuk membebaskan Soeharto dari segala tuntutan hukum. Dan sikap ini pulalah yang kemudian di ambil oleh Presiden SBY beserta aparatnya.

Di sini, rasanya kita melihat makna ’kemanusiaan’ secara utuh terhadap suatu individu. Sementara, ’kemanusiaan’ dalam aspek kebangsaan tidak lagi hitam putih seperti itu, karena menyangkut ’hajat hidup orang banyak’. Melepaskan Soeharto dari proses hukum sama artinya melepaskan aspek kemanusiaan rakyat Indonesia yang merasa ’terdzalimi’ oleh penguasa orde baru tersebut selama puluhan tahun, padahal kita bermakud bersikap ’manusiawi’ terhadap Soeharto. Lalu, sisi kemanusiaan siapa yang harus kita bela ?

Pembekuan kasus Soeharto secara nyata menunjukkan posisinya yang bersebrangan dengan arus gerakan reformasi. Meskipun pemerintah sekarang ini mengaku menjalankan poin-poin lainnya (penegakkan hukum pemberantasan KKN, pencabutan dwi fungsi ABRI, dan seterusnya), akan tetapi karena Soeharto adalah sasaran utama gerakan reformasi maka pemerintahan SBY akan dinilai anti reformasi.

Dengan melihat hal tersebut, maka sangat disayangkan bahwa pemerintahan SBY yang notabene lahir dari proses panjang reformasi bangsa ini, kemudian malah ’berani’ mengambil sikap berlawanan. Resiko pengambilan keputusan untuk membekukan kasus Soeharto adalah labelisasi anti-gerakan reformasi. Lebih parah lagi ini muncul justru di tengah suasana peringatan 8 tahun gerakan reformasi di Indonesia. Maka, wajarlah jika kemudian para pendukung gerakan reformasi akan ’menghajar’ pemerintahan SBY-JK setelah Temuan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative.

Masih layakkah SBY dan JK memimpin gerbong Reformasi? Dan masih pantaskah mereka berdua maju di bursa calon Presiden mendatang?


0 comments: