Tuesday, September 25, 2007

HILAL DALAM PENANGGALAN HIJRIYAH

Wapres Jusuf Kalla bersama Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Mensos Bachtiar Chamsyah, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni, bertemu membahas masalah penyamaan waktu Idul Fitri, kemarin. Bukan pertemuan politik tapi murni mbahas persoalan umat Islam khususnya penetapan 1 Syawal tahun ini.

Bagi yang gak tahu, kayaknya kok ruwet ya menetukan tanggal di bulan Hijriyah?Yah, seperti itulah proses belajar manusia. Kalau tidak ada masalah ya nggak belajar gitu kan..? Jangan susah hati lah...

Tapi prinsipnya begini,

Saat ini beragam kriteria visibilitas dikeluarkan oleh astronom, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa penampakan sabit bulan pertama atau hilal bukan permasalahan umat Islam semata. Astronom non Islam pun sedang mencari-cari bagaimana sejatinya penentuan kalender dengan sistim ini. Hehe..mungkin inilah tantangan Allah pada seluruh umat manusia agar gak sombong, takabur and merasa pinter sendiri.

Hilal mempunyai posisi penting dalam sistem penanggalan Hijriah yang didasarkan pada siklus penampakan Bulan. Sayangnya, kajian tentang hilal di Indonesia dalam banyak aspek sangat minim sehingga tidak heran jika perbedaan dalam menetapkan awal bulan Hijriah masih dan akan terus terjadi karena hilal merupakan penentu awal bulan.
Sistem penanggalan Hijriah didasarkan pada siklus penampakan Bulan yang lamanya 29,53 hari, di mana awal bulan ditandai dengan penampakan sabit bulan (hilal) di ufuk barat ketika Matahari tenggelam. Penggunaan hilal sebagai penanda awal bulan dalam penanggalan Hijriah didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam astronomi, sistem penanggalan Hijriah digolongkan dalam sistem penanggalan bulan (lunar calendar).

Jauh sebelum menggunakan kalender bulan, bangsa Arab kuno sebenarnya telah menggunakan sistem penanggalan yang didasarkan pada siklus penampakan Bulan dan pergerakan Matahari. Dalam sistem penanggalan tersebut, perhitungan bulan (month) didasarkan pada siklus penampakan Bulan (moon) dan perhitungan tahun (year) didasarkan pada siklus pergerakan Matahari.

Dari pengamatan diketahui bahwa 12 lunasi Bulan tidak sama dengan satu siklus pergerakan Matahari. Hal ini membuat perbedaan jumlah hari setiap tahunnya. Secara astronomi, sistem penanggalan yang didasarkan pada siklus penampakan Bulan dan pergerakan Matahari disebut sistem penanggalan bulan-matahari (luni-solar calender).

Ramadhan

Dalam sistem penanggalan luni-solar bulan Ramadhan, bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriah selalu berada pada musim panas, kemungkinan sekitar bulan Juni dalam penanggalan Masehi sekarang. Hal ini bisa diketahui dari kata Ramadhan yang berarti sangat panas/terik.

Ketidakkonsistenan masyarakat, terutama penguasa Arab, dalam menerapkan aturan penanggalannya menjadikan sistem penanggalan menjadi kacau. Maka, dalam Al Quran (09:36-37) Nabi Muhammad SAW melarang penggunaan kalender luni-solar dan menggantikannya dengan sistem penanggalan yang didasarkan pada penampakan Bulan semata.

Perubahan sistem penanggalan tersebut berdampak pada perhitungan lamanya tahun semata. Adapun perhitungan bulan (month) yang didasarkan pada siklus penampakan Bulan tidak mengalami perubahan. Hal inilah yang menyebabkan bulan Ramadhan tidak lagi selalu berada pada musim panas.

Kriteria awal bulan yang digunakan oleh masyarakat Arab juga tidak mengalami perubahan. Rasulullah SAW melalui sabdanya menetapkan kriteria awal bulan yang sudah berlaku dan akrab dalam masyarakat tersebut sebagai kriteria baku dalam sistem penanggalan yang baru (baca: penanggalan Hijriah).

Kriteria tersebut adalah penampakan hilal. Jikalau hilal telah tampak, berarti telah masuk bulan baru (new month) dan jika belum tampak maka bulan berjalan digenapkan menjadi 30 hari.

Hilal sebagai penentu

Bagi masyarakat Arab yang telah turun-temurun menggunakan luni-solar calendar, istilah hilal bukan sesuatu yang baru sehingga terminologi hilal dalam masyarakat Arab bisa dikatakan seragam. Seperti umumnya terminologi purnama ataupun bulan separuh dalam masyarakat sekarang. Oleh karena itu, Rasulullah menerima kesaksian seorang Arab Badui yang mungkin buta huruf dan kesaksian seorang kafilah yang melihat hilal dalam perjalanannya menuju Madinah dengan tanpa banyak pertanyaan tentang penampakan hilal.

Dari sini dapat dipahami hakikat hadis Nabi yang menyatakan bahwa "Kami adalah umat yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), satu bulan itu terdiri atas 29 hari atau 30 hari". Meskipun masyarakat Arab ketika itu banyak yang ummi, pengetahuan mereka terhadap siklus penampakan Bulan dan pemanfaatannya sebagai kalender sudah merata. Hal ini karena kalender yang digunakan dalam kehidupan sehari-harinya didasarkan pada siklus penampakan Bulan.

Jika seorang Arab Badui yang mungkin ummi dan seorang pedagang yang sedang dalam perjalanan dapat melihat hilal tentunya-dalam bahasa astronomi-posisi hilal sudah cukup tinggi sehingga mudah dikenali meskipun tanpa mengetahui posisi hilal terlebih dahulu.

Secara astronomi, sabit hilal dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa bantuan perhitungan (hisab) jika ketinggiannya lebih besar dari 12 derajat. Oleh karena itu, kriteria visibilitas hilal astronom dahulu mempunyai ketinggian hilal $>= 12 derajat.
Tabel 1 menunjukkan sebagian kriteria visibilitas hilal yang digunakan oleh masyarakat/astronom dahulu, seperti Al-Khwarizmi yang diketahui sebagai astronom Muslim pertama yang mempunyai kriteria visibilitas dan Ibn Yunus, seorang astronom terkenal pada akhir abad X di Fustat. Beberapa astronom Muslim lainnya, seperti Maslama ibn Ahmad al-Majriti yang merevisi tabelnya al-Khwarizmi, Ibn Ishaq al-Tunisi yang bekerja di Tunisia pada awal abad ke-13, juga mempunyai kriteria yang tidak jauh berbeda.

Hisab dan hilal

Visibilitas (rukyat) hilal merupakan sebagian permasalahan yang mendapat perhatian serius dari astronom Muslim abad pertengahan. Hal ini disebabkan kalender yang digunakan sehari-hari didasarkan pada Bulan dan awal bulan ditandai dengan penampakan hilal. Beragam kriteria visibilitas dihasilkan ketika itu.

Kemajuan ilmu astronomi dan pengetahuan astronom terhadap pergerakan dan posisi Bulan menjadikan kriteria posisi hilal untuk dapat dilihat semakin kecil. Terlebih dengan diketemukannya alat bantu observasi, seperti teleskop, membuat kriteria posisi hilal menjadi lebih kecil lagi.

Fotheringham (1910), Bruin (1977), Yallop (1997), Ilyas (1990-an), Schaefer (1988), The Royal Greenwich Observatory (RGO), dan South African Astronomical Observatory (SAAO) mengeluarkan kriteria visibilitas hilal dengan S $< 12 deg. Kriteria Danjon bahkan mensyaratkan elongasi Bulan-Matahari sebesar 7 derajat pada saat Matahari tenggelam.

Jika Rasulullah SAW mengawali dan mengakhiri puasanya didasarkan pada rukyat (visibilitas) hilal yang mudah dilihat dan dikenali oleh orang yang ummi, tentunya seperti itulah umat Islam ingin melaksanakannya. "Bukankah Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (2:185)."


0 comments: